Germany, a walk down memory lane (Part 1)

Ini bukan cerita tentang jalan-jalan di Eropa, ini cerita tentang menunggu dan bersabar dan tetap percaya bahwa suatu hari mimpi itu akan jadi kenyataan. Aku bukanlah orang yang bermimpi jalan-jalan di Eropa atau mengunjungi berbagai negara sebanyak mungkin. Aku hidup untuk mimpi-mimpiku, mencari cara agar mimpi itu bisa dicapai tanpa mengorbankan orang lain, menceritakannya ke orang-orang terdekatku agar mereka bisa doakan supaya mimpi anak kecil itu menjadi kenyataan.

Kali ini si ranger hutan Oulu sampai di Jerman. Naik pesawat paling pagi dan paling murah dari Sevilla. Duduk di tempat duduk paling belakang ternyata tidak menghalangi aku untuk tidur karena emang pada dasarnya betapa darelessnya aku (nyender puless). Aku pengen nyeritain maskapai yang aku naikin Ryan air, karena ini menarik banget, seperti menjelaskan “race to the bottom” persaingan bisnis dimana-mana. Jadi ryan air ini bilang aku harus check in online dan print tiketnya, kalau aku blom check in online dan check in di bandara bakal dikenain biaya tambahan 50 euro. Ok sip. Aku juga nggak punya check in baggage kan, aku cuma ada cabbin luggage, lalu dikasih tau ukuran standar cabin, koper aku sih memenuhi biasanya, cuma rada deg-degan karena tampangnya koper aku gede. Di keterangan di bilang kalau sampe melebihi ukuran cabin, harus bayar lebih. Ok sip. Lalu mulailah kita ngantri boarding, tiap cabin luggage dikasih tag seperti biasa, lalu kita seret koper masing-masing ke pesawatnya yang ada di landasan, lumayan agak jauh dari gedung bandaranya, lalu kita naikin ke pesawat kopernya, melalui tangga, terus ternyata ga boleh dimasukin area tempat duduk penumpang, dikasih ke pramugari yang udah nunggu di depan pintu masuk pesawat. Done. Aku tidur pokoknya, hampir 3 jam, nyenyak parah. Udah kan, landing di SFX, bandaranya Berlin. Terus pas keluar aku tanyain koper aku mana ke pramugari, terus dia bilang ambil di baggage claim. Ok sip. Udah aku ambil koper aku di baggage claim yang biasanya digunakan orang yang memang bayar check in baggage. Sip. Aku semakin bingung dengan cara kerjanya maskapai ini. Kenapa nggak dari awal koper semua penumpang langsung dimasukin ke check in baggage, jadi kita ngga usah nyeret koper ke sampai ke atas pesawat dan nyerahin ke pramugari. Ini maksudnya apa? Nyuruh penumpang olahraga? karena ujung-ujungnya semua koper yang diserahkan ke pramugari di atas pesawat akan masuk diambil di baggage claim. Nggak tau kalau di Indonesia ada maskapai macam begini juga ya cuma bingung aja. Kalau belum jelas dan minta dijelasin secara verbal, boleh hubungin skype aku. Ini maskapai juga irit parah, safety procedure nggak dia print di leaflet, cuma di tempel di kursi penumpang. Ngirit abisss. Btw, tapi bener juga sih karena nggak pernah sekalipun aku baca safety procedure yang di leaflet, ngapain mereka ngabisin cost buat yang kaya gini. Anyway buat 22 euro, maskapai ini cukup oke, termurah.

Di Berlin aku tinggal di rumah salah satu couchsurfer yang aku dapetin dari couchsurfing. Nggak nyangka juga bakal dapet yang mau host aku, gratis. Dan ternyata dia excited banget karena dia emang pernah liburan di Indonesia 5 bulan, namanya Miriam, dia tinggal sama 2 roommate cowok, Tom sama Christian. Mereka bener-bener baik semuanya. Aku tidur di sofa bed ruang tamu mereka. Nahhh, siapa yang mau jalan-jalan tapi stylenya kayak gini. Miriam itu jurusan biologi, lagi mau lanjut Master lagi, karena itu rumahnya bener-bener penuh tanaman padahal mereka tinggal di apartemen yang nggak terlalu besar, tapi pot-pot tanaman bener-bener di setiap sudut rumahnya. Ada juga peliharaan binatangnya , 2 kelinci, satu kura-kura, udang. Hal pertama yang aku lakuin begitu sampe adalah mandi dan numpang nyuci, ngeliat Miri punya mesin cuci, langsung naluri ibu rumah tangga keluar, udah seminggu baju aku nggak dicuci, jorok? Emang. Oh come on, you have to face this when you travel 3 weeks with cabin luggage only.

Miri langsung ngajakin ke toko Indonesia dong di Berlin yang deket sama rumahnya, melihat toko ini langsung ilang capeknya, kita borong indomie, bumbu-bumbu, kecap. Yaudah langsunglah aku masakin dia nasi sama ayam bakar bumbu bali pake bumbu instan aja, tapi dia seneng banget. Dia masih simpan beberapa souvenir dari Indonesia, kaya rupiah, suling, pokoknya ceritanya tentang Indonesia banyak banget. Dia bahkan bisa bahasa Indonesia sedikit, sepatah dua patah kata yang masih dia inget.

Malamnya adalah saat yang paling aku tunggu selama berminggu-minggu sejak beli tiket, pertandingan Jerman lawan Brasil. Di S-bahn udah banyak orang yang dress up sesuai tim yang dia dukung, pendukung Brazil tetep nyanyi2 di S-bahn, nggak peduli bahwa ini bukan negara mereka. Sampai di Stadion, ada perasaan campur aduk, ini pertandingan Jerman pertama aku, nggak nyangka bisa sampai disini, dulu cuma liat di tv. Bahkan tahun pertama di Finlandia pun nggak ada rencana kemana-mana, hanya berusaha seirit mungkin. Di stadion, setiap ada kerumunan orang ngantri-ngantri aku kepo. Ada hospitality mercedes yang ternyata cuma buat yang punya membership DFB (nggak tau gimana cara daftarnya), lalu kerumunan di kios beer dan bratwurst, yang ini sih aku langsung melengos aja, takut tergoda sama wanginya, karena dagingnya udah pasti tidak halal. Seneng aja sama atmosfer stadion, mereka dress up habis-habisan, yang dari Brazil pun nggak mau kalah.  Aku sampai stadion jam 7, padahal pertandingannya jam 8.45 malem, tapi ternyata cuma muter-muter nontonin orang pun nggak berasa.

 

This slideshow requires JavaScript.

Nah, pemeriksaan keamanan sebelum masuk stadion ini lumayan ketat, penonton di raba-raba seluruh badan takut menyembunyikan sesuatu. Penonton nggak boleh bawa tas terlalu besar, tas kuning aku kan lumayan besar tuh, jadi disuruh simpan di penitipan, hidupku langsung hampa tanpa si kuning yang selalu nemenin, segala minum, cemilan, passport, remah-remah biskuit, semua ada di dalem, tapi yaudah, pasrah aja. Nyari pintu tempat duduk aku ternyata nggak gampang, lumayan harus muterin seluruh stadion dari pintu masuk utama. Tapi pas udah di sectionnya lumayan gampang nemunya. Aku beli tiket di viagogo, nah aku baru tau kalau harga aslinya 25 euro, padahal aku ngeluarin uang 70 euro buat tiket ini. Jadi baru aku tahu cara kerjanya agen tiket di Eropa, pembeli bakal kena commission, VAT, dan ongkir, totalnya bisa sampai 35 euro. Aku beberapa kali kepo aja coba-coba beli tiket lain, tapi nggak bayar. Jadi harga tiket yang 87 euro bisa sampai 134 euro. Sejak itu aku nggak mau beli di viagogo lagi.

Ok, kembali ke match. Di kursi masing-masing dikasih udah dikasih poster polos, warna putih, tapi karena aku nggak bisa baca bahasa jerman jadi nggak tau itu buat apa, kirain aku buat alas duduk biar nggak dingin kursinya. Kali ini aku nggak komunikasi sama siapa-siapa karena memang nggak ada yang perlu ditanyain juga, cuma ada bapak-bapak sebelah aku kayanya imigran asal Turki sama anaknya, dan dia juga ga bisa bahasa Inggris tapi berusaha berkomunikasi sama aku. Oh ya, ternyata poster itu buat bikin koreo #unitedbyfootball, ceritanya promo buat jadi tuan rumah piala eropa 2024. Ternyata bir memang tidak lepas dari kehidupan maysrakat Jerman, sepanjang pertandingan mereka bisa minum lebih dari satu gelas bir. Aku sih mikirnya, mereka nggak bolak-balik ke toilet apa ya, minum sebanyak itu, mana malem itu dingin banget kan. Aku aja bener-bener menggigil, malah pengen pertandingannya cepet selesai saking kedinginannya. Pada akhirnya Jerman kalah 0-1 dar Brazil, not a big deal karena ini friendly match. Ada satu momen yang paling aku tunggu setiap nonton pertandingan timnas Jerman. Kalau ada yang pernah nonton bundesliga atau pertandingan timnas Jerman, komentator akan nyebutin nama depan pemainnya dan penonton nyebutin nama belakangnya, teriak bareng-bareng, jadi berasa banget atmosfer bahwa pertandingan sepakbola ya milik penonton juga. Setelah pertandingan selesai, masalah malah dateng waktu mau ngambil tas di penitipan, ternyata antrinya panjang banget, alhasil dari selesai match jam 11 malem, aku baru bisa ambil tas jam 12 malem, dan sampai rumah jam setengah satu malem. Langsung aku kepikiran mamakku di kampung kan, habislah kalau ketauan cewek2 pakai jilbab, jalan sendiri di kota asing jam setengah satu malem.

Kayanya tujuan hidup aku ke Berlin cuma buat nonton bola dan tidur. Next day, aku bangun siang banget, lalu masak-masak sama Miri, masak nasi uduk kali ini. Terus nemenin dia ngeprint kartu mahasiswanya di kampusnya Humbold university, dan habis itu kita pulang dan males-malesan lagi. Hari ini dia ngundang salah satu temennya dan roomatenya yang vegetarian untuk dinner bareng, yaudah kita tambahin masakannya dengan masak soto betawi sama bakwan sama urap, biar yang vegetarian juga bisa makan, sambil aku bertanya-tanya, ini gue tinggal di Berlin apa di Jakarta sih, kok masakannya Indonesia banget. Lalu kita ngobrol-ngobrol selama dinner, aku bilang aku suka banget arsitek Jerman yang suka bikin sirkuit namanya Hermann Tilke, dan ternyata bapaknya temennya Miri kerja di perusahaan Tilke Gmbh yang di Aachen, wah, sebuah kebetulan.

Hari selanjutnya, aku akhirnya ada tenaga buat jalan-jalan sendiri karena Miri juga lagi ada urusan. Aku yah jalan aja, dimulai dari Bradenburg Tor, jalan terus sampai Berlin dome, dan Jewish memorial, baru pulang setelah ke Berlin wall. Hampir disemua tempat aku mencegat orang untuk foto, dan semua tempat yang aku datengin juga turistik banget, jadi emang rame dan nggak aneh kalau foto-foto. Aku sempet masuk ke beberapa museum cuma buat tau harga tiketnya dan ngecek apa ada tiket buat student. Rata-rata tiket masuk museum itu 10-12 euro, langsung ciyut deh nyalinya si traveler irit ini. Di depan Humboldt university yang terkenal itu, ada yang jual buku second, tadinya pengen beli karena buku aku satu-satunya ketinggalan di Madrid dan otomatis nggak punya bacaan, tapi inget kalau di koper nggak ada space lagi.

Nggak banyak informasi yang bisa didapat dari Bradenburg Tor, selain itu adalah sebuah gerbang. Aku juga belum sempet nyari di Youtube. Kalau Berlin Dome sendiri merupakan katedral, arsitektur gotiknya yang bikin dia jadi terkenal, emang bagus sih. Nah, selesai dari tempat touristy ini, aku melanjutkan jalan kaki ke Jewish Memorial, karena aku udah searching kalau ini salah satu tempat yang gratis. Di tengah jalan kaya nemu eksebisi tentang alat kesehatan untuk membantu orang dengan disabilitas. Eksebisinya diadain oleh salah satu perusahaan yang memproduksi teknologi buat orang dengan disability, cukup menarik karena ini benar-benar khasnya Jerman banget menurutku, teknologi. Jadi ada beberapa alat peraga yang membandingkan bagaimana orang normal berjalan dibandingkan dengan orang yang menggunakan prosthetic leg, ya semacam itu. Dan sampai di Jewish memorial, ternyata masuknya harus ngantri, mungkin karena gratis tapi space di ruangannya terbatas.  Tapi ternyata banyak informasi yang didapat juga. Kaya time machine terjadinya peristiwa holocaust. Yang paling menyentuh adalah baca surat-surat mereka yang masih tersisa, kadang telegram, kartu pos, atau surat. Pada akhirnya, kita manusia, pembantaian semacam ini harusnya nggak terjadi di peradaban umat manusia.

Setelah melihat itu semua, satu kata untuk Berlin: Depressing. Banyak sejarah kelam yang disimpan oleh kota ini, dan masih disimpan sampai sekarang. Mungkin kalau mau wisata ke Berlin, yang paling tepat ya wisata sejarah. Bagaimana kehidupan penduduk Berlin? Kalau host aku, Miri, apartemennya berada di daerah yang banyak imigrannya, jadi berpapasan sama orang yang pake jilbab juga hal wajar, dan rasanya dia udah terbiasa. Roommatenya, Tom, sebenernya kerja di Wolsfburg, tapi sengaja bolak-balik Berlin-Wolfsburg karena dia nggak suka tinggal di Wolsfburg. Miri juga ngajak aku ke Indonesian shop, Turkish supermarket yang namanya Bolu dan penjualnya ramah banget, Lidl mah kalah, karena disini semuanya ada, bahakan middle east spices. Miri juga ngajak aku ke petshop cuma buat mengagumi binatangnya aja, jadilah kita hangout di petshop. She’s very simple girl who can be happy easily. Dia yang bikin aku merasa nyaman banget tinggal di Berlin.

When you travel, you don’t only visit good place, but also good people.

 

 

Leave a comment